Lain halnya di Swiss,berikut ini saya turunkan tulisan dari GekMas,ia adalah teman sekelas saya waktu di SMPN 131 Jakarta.Selamat membaca.
Dalam bayanganku beberapa tahun yang lalu, pekerjaan sebagai ‘nanny‘ (baca: babysitter) adalah hal yang mudah. Hanya membutuhkan kesabaran dalam menghadapi anak-anak dan keterampilan mengganti popok bayi. Gambaran ini aku dapatkan dari keseharian di Indonesia, dimana seorang nanny cukuplah tamatan SMP dan telah mengikuti pendidikan babysitter.
Namun gambaran tersebut buyar saat aku menapakkan kaki di’benua baruku ini’. Tawaran bekerja sebagai ‘the nanny‘ sebenarnya sudah aku dapatkan ditahun kedua aku bermukim disini. Awalnya hanya untuk membantu teman menjaga anaknya selama beberapa jam saja. Dari 1-2x kesempatan itulah muncullah niat temanku untuk mempekerjakanku. Kesempatan yang bagus sebenarnya, apalagi saat itu aku memang sedang ingin sekali mencari pekerjaan yang menghasilkan, disamping kegiatan sosialku diplaygroup.
Dengan pertimbangan yang cukup banyak, aku menolak tawaran tersebut. Salah satu dasar pertimbanganku adalah ketidaksiapanku menghadapi kendala bahasa (pertama, swiss-jerman bukanlah ‘my mother tounge‘ dan saat itu pemahamanku masih 60-70%; kedua, bahasa anak-anak dalam swiss-jerman lebih sulit lagi untuk dimengerti dan aku harus sendirian selama beberapa jam berkomunikasi dengan mereka???) dan belum mengenal budaya setempat. Aku tidak mungkin hanya bermain-main saja dengan mereka bukan? Permainan apa pula yang harus aku mainkan dengan mereka jika berkomunikasi saja terhambat? Apa yang harus aku jelaskan bila si anak menanyakan sesuatu dan dalam bahasa apa? Bagaimana jika aku diminta menyanyikan lagu, tidak mungkin aku menyanyikan ‘Burung Kakaktua’ (temanku asli Jerman dan Swiss). Bagaimana jika si anak sakit atau mengalami kecelakaan saat aku ‘bertugas’, dan aku harus memberikan P3K sedangkan belum mengerti prosedur disini. Begitupun dengan aturan dan larangan dalam kehidupan sehari-hari mereka (seperti ritual jalan-jalan dialam bebas, tidur siang, dll).
Ternyata banyak sekali hal yang harus aku pelajari terlebih dahulu dan aku bersyukur akan munculnya kesempatan untuk menimba ilmu sebagai leader/guru playgroup. Melalui pendidikan ini aku mengetahui lebih banyak mengenai kebiasaan, pola dan bahkan budaya asuh disini. Aku mengenal lagu-lagu dan permainan anak, memperoleh berbagai ide yang berkaitan dengan kegiatan waktu luang dan prakarya.
Hmmm…kedengarannya sangat kompleks cara berpikirku dan terkesan berlebihan. Namun aku hanyalah berpikir realistis, karena pada kenyataannya sebagian besar orangtua menginginkan hal yang terbaik bagi anaknya. Begitu pula dalam hal mempercayakan pengasuhan anaknya kepada orang lain. Aku pun akan melakukan hal serupa (mencari orang yang dapat dipercaya dan berkualitas) jika keadaan ini terjadi padaku.
Sejak dulu aku selalu berkeinginan untuk menangani sendiri pengasuhan anakku (jika suatu hari aku memilikinya) dan tidak akan menyerahkannya ke tangan ‘nanny‘. Maka kehidupan sebagian besar wanita Swiss sebagai ibu rumah tangga 100% selalu aku lihat sebagai hal yang positif. Namun hal tersebut tidak berarti aku memandang negatif wanita yang memilih karier, terutama selama mereka mampu menjalani kedua perannya dengan seimbang. Tentunya aku bercermin pada ibuku yang mampu menjalani kedua perannya: sebagai ibu rumah tangga dan wanita karier (dalam hal ini pengusaha).
Hampir setengah tahun sudah aku menjalani profesi baruku sebagai nanny.. super nanny, begitu aku menyebutnya. Karena profesiku sebenarnya merupakan perpaduan dari nanny dan ‘tagesmami‘ (arti harfiah: ibu harian, ibu yang dititipi anak). Kewajibanku hanyalah menjaga si anak selama orangtuanya tidak ada dirumah, dan tentunya memperhatikan makanannya. Berbeda dengan nanny pada umumnya yang kewajibannya mencakup pekerjaan rumah tangga. Dalam hal ini kebebasanku lebih tergolong dalam kategori ‘tagesmami‘, yang menerima ‘titipan’ anak. Namun karena kondisi rumah kami yang ‘tidak ramah anak-anak’ (istilah seorang teman bagi kondisi rumah dari pasangan yang belum/tidak memiliki anak), aku lebih memilih menjalani profesi tagesmami ini dirumah si anak, dimana semua kebutuhan si anak telah tersedia. Dengan demikian aku tidak perlu ‘menyulap’ sebuah kamar ekstra untuk keperluan penitipan anak ini.
Berbeda dengan nanny di Indonesia, profesi nanny disini dilakukan oleh orang-orang yang telah menyelesaikan pendidikan khusus (kleinkinderzieherin (infant educator) atau spielgruppeleiterin (leader playgroup)) selama minimal setahun. Dalam program pendidikan (kleinkinderzieherin) ini tidak hanya diajarkan bagaimana mengganti popok bayi saja, namun juga sedikit mengenai psikologi perkembangan khususnya psikologi anak. Sedangkan dalam pendidikan spielgruppeleiterin, kami bahkan tidak diajarkan lagi bagaimana seharusnya merawat bayi, karena lingkup anaknya adalah anak usia prasekolah (3-5 tahun).
Pekerjaan ini selain memberi masukan finansial, juga telah membuka wawasanku akan budaya dan pola asuh disini. Betapa repotnya kehidupan pasangan yang keduanya bekerja dan memiliki anak. Tidak seperti di Indonesia dimana keluarga dari ekonomi menengah ke atas sanggup membayar pembantu rumah tangga dan pengasuh untuk tinggal didalam rumah dan siap siaga selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Disini jasa cleaning service dan nanny dibayar dengan hitungan gaji per jam. Jadi semakin lama dia bekerja, maka semakin besarlah jumlah uang yang harus dibayarkan. Kesimpulannya hanyalah milyuner yang sanggup mempunyai ‘buttler‘ atau kepala pelayan selama 24 jam sehari.
Melalui profesi ini pula aku belajar kebiasaan-kebiasaan keluarga Swiss pada umumnya (keluarga dimana aku bekerja bukanlah keluarga campuran atau pendatang), seperti: menyempatkan berjalan-jalan mencari udara segar dengan si anak (minimal sekali dalam sehari) tidak perduli cuaca apapun diluar, kebiasaan makan siang bersama dimeja makan (tidak depan televisi dan tidak disuapi bagi anak dengan usia diatas 1,5 - 2 tahun).
Dan sampai saat ini belum pernah sekalipun aku menyalakan televisi dan mendudukkan anak asuhku didepannya, selalu saja ada aktivitas lain yang lebih menarik daripada televisi. Misalnya menyanyi, ‘finger verse‘ (permainan kata dengan jari jemari), membaca buku cerita, menggambar, bermain dengan lilin, pasir atau hanya sekadar mengumpulkan buah-buahan liar. Aku belajar untuk sabar dalam mengikuti tempo si anak dalam mengerjakan sesuatu (memakai baju, jaket, sepatu atau sandal sendiri). Aku juga belajar untuk konsekuen dalam menetapkan aturan (tidak berarti tidak dan tak ada tawar-menawar) seperti tidak boleh bermain dengan makanan dan minuman. Terkadang aku pun melibatkannya dalam kegiatan memasak bahkan kami pernah membuat kue bersama. Suatu hal hampir tidak mungkin dialami anak-anak usia 2-3 tahun yang tinggal di Indonesia. Karena biasanya sudah ada ’si mbak’ yang mengerjakan semuanya, dari mengenakan pakaian hingga menyuapi makanan.
Hal yang juga membuat berbeda adalah pekerjaan sebagai nanny disini tidaklah dipandang sebelah mata, baik oleh si pemberi kerja maupun teman-teman disekitar. Hubunganku sendiri dengan orangtua bahkan keluarga besar si anak sangat baik. Tidak pernah sekalipun ada kata-kata kasar bahkan kalimat perintah diberikan padaku. Bahkan pada suatu kesempatan, sang ibu pernah menanyakan kesediaanku untuk mengajak anaknya ke kursus menyanyi yang seharusnya ia hadiri. Dia menekankan, “hanya jika aku bersedia” dan kehadiranku disana bukanlah hanya sebagai pengantar, tapi lebih sebagai ibu pengganti (kursus menyanyi itu ditujukan untuk orangtua dan anak).
Hmmm…being a nanny tidaklah semudah yang terlihat, namun tidak pula serumit yang kita bayangkan. Terpenting bagiku adalah being a nanny merupakan suatu kepercayaan terbesar yang diberikan orangtua untuk menitipkan anaknya padaku. Karena tidak hanya keselamatan dan perawatan si anak saja yang dipercayakan padaku, namun juga pendidikan si anak selama ia berada dibawah asuhanku.
1 comments:
"Kenapa disebut BS, tapi kemampuannya PRT?".
Krn kualitas & tuntutan lingkungan di Indonesia-nya yg membuat seperti itu. Babysitter di Indonesia diartikan secara harfiah sebagai penjaga anak, sekaligus 'pelayan' anak. Sebagian besar tuntutan ortu thdp babysitter pun spt itu. Shg para pendiri sekolah babysitter lbh menekankan fungsi sbg penjaga dan pelayan anak, bukan sebagai pendidik.
Mungkin jika ingin memperoleh kualitas babysitter yg sama, maka standar pendidikan di Indonesia hrs ditingkatkan terlebih dahulu. Krn tidak mungkin kita mengharapkan kualitas yg tinggi dg standar yg rendah.
Hari pertama dikelas guru playgroup, para peserta ditanya apa alasan mengambil pendidikan ini. Rata-rata menjawab, krn kecintaannya pada anak-anak. Saya rasa itu yang penting ditanamkan dlm pekerjaan yg berkaitan dg anak-anak, bukan semata mencari nafkah saja.
Bagi saya sendiri, selain berdasarkan kecintaan pada anak-anak, pekerjaan sbg 'nanny' ini menjadi salah satu 'saluran' ilmu yg pernah saya peroleh dibangku kuliah di Jakarta dulu.
Tulisan ini adalah hasil pengamatan, pemikiran dan pengalaman saya pribadi, namun saya tidak mengadakan penelitian khusus bagaimana keseharian yg dijalani oleh babysitter dan nanny lainnya disini.
Post a Comment
Silahkan diisi komentar Anda tentang tulisan diatas.
Terimakasih
www.ruduji.blogspot.com